Secara umum, Kontrak Unit Price adalah kontrak di mana volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak hanya merupakan perkiraan dan akan diukur ulang untuk menentukan volume pekerjaan yang benar-benar dilaksanakan, atau dalam bahasa Inggris: "A Unit Price Contract is a contract where the Bill of Quantity is subject to remeasurement".
Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/2000 Pasal 21 ayat (2) mengatakan: "Kontrak kerja konstruksi dengan bentuk imbalan Harga Satuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a angka 2 merupakan kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu yang volume pekerjaannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan Penyedia Jasa".
Selanjutnya dalam penjelasan ayat ini tertulis:
"Pada pekerjaan dengan bentuk imbalan harga satuan, dalam hal terjadi pembetulan perhitungan perincian harga penawaran dikarenakan adanya kesalahan aritmatik, harga penawaran total dapat berubah, akan tetapi harga satuan tidak boleh diubah. Koreksi aritmatik hanya boleh dilakukan pada perkalian antara volume dengan harga satuan. Semua risiko akibat perubahan karena adanya koreksi aritmatik menjadi tanggung jawab awab sepenuhnya Penyedia Jasa. Penetapan pemenang lelang berdasarkan harga penawaran terkoreksi. Selanjutnya harga penawaran terkoreksi menjadi harga kontrak (nilai pekerjaan). Harga Satuan juga menganut prinsip lump sum".
Robert D. Gilbreath dalam bukunya Managing Construction Contracts, halaman 44-45, menulis tentang kontrak unit price sebagai berikut (terjemahan bebas Penulis):
"Harga Satuan
Kontrak Harga Satuan menggambarkan variasi dari kontrak lump sum. Mengingat lump sum meliputi satu harga pasti/tetap untuk semua atau beberapa bagian pekerjaan, harga satuan hanya mengatur harga satuan. Total nilai kontrak ditetapkan dengan mengalikan harga satuan dengan volume pekerjaan yang dilaksanakan.
Sebagai contoh, pengecoran beton dengan harga satuan US$ 60 per m3 sudah terpasang. Jika 1.000 m3 yang dicor, total harga kontrak menjadi US$ 60.000. Risiko Pengguna jasa dengan sistem harga satuan termasuk sebagian besar yang terdapat dalam kontrak lump sum. Di samping itu, kontrak harga satuan menuntut pemantauan ketat dan verifikasi terhadap jumlah satuan sesungguhnya. Menelusuri berapa banyak yang ditambah, dikurangi, dipasang atau dibongkar benar-benar merupakan suatu pekerjaan yang harus dikerjakan secara sungguh-sungguh".
Mc Neil Stokes dalam bukunya Construction Law in Contractor's Language, halaman 34-35, menulis mengenai kontrak unit price sebagai berikut (terjemahan bebas Penulis):
"Kontrak Harga Satuan
Dalam kontrak harga satuan, Penyedia Jasa dibayar suatu jumlah yang pasti untuk setiap satuan pekerjaan yang dilaksanakan. Untuk menghindarl sengketa mengenal berapa pekerjaan yang sesungguhnya dilaksanakan, setiap satuan pekerjaan harus ditentukan dengan tepat.
Dalam menggunakan metode harga satuan, Pengguna Jasa memperkirakan risiko atas jumlah pekerjaan yang akan dilaksanakan; termasuk perkiraan risiko pekerjaan yang dibuat Pengguna Jasa atau Perencana (Arsitek). Perkiraan ini, meskipun baru perkiraan harus akurat dan oleh karena itu total biaya konstruksi dapat diperkirakan dengan tepat.
Penyedia Jasa menanggung risiko kenalkan harga satuan yang tercantum dalam kontrak. Apabila Penyedia Jasa mengajukan penawaran atas dasar satuan pekerjaan, dia mendasarkan harganya atas biaya melaksanakan jumlah pekerjaan yang diantisipasi. Jika selama masa pelaksanaan pekerjaan jumlah pekerjaan tersebut banyak sekali berkurang, maka biaya per satuan pekerjaan biasanya akan lebih besar daripada yang diperkirakan. Sebaliknya, jika jumlah satuan pekerjaan tersebut banyak sekali bertambah, maka harga satuan yang dikerjakan dapat turun, sehingga harga satuan asli menjadi tinggi. Ini tak adil".
Dari uralan di atas dapatlah disimpulkan bahwa bentuk kontrak harga satuan tidak mengandung risiko Pengguna Jasa membayar lebih karena volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak lebih besar daripada kenyataan sesungguhnya sehingga Penyedia Jasa mendapat keuntungan tak terduga.
Sebaliknya, Penyedia Jasa juga tidak menanggung risiko rugi apabila volume pekerjaan sesungguhnya lebih besar daripada yang tercantum dalam kontrak karena yang dibayarkan kepada Penyedia Jasa adalah pekerjaan yang benar-benar dilaksanakan.
Yang menjadi masalah dalam bentuk kontrak semacam ini adalah banyaknya pekerjaan pengukuran ulang yang harus dilakukan bersama antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa untuk menetapkan volume pekerjaan yang benar-benar terlaksana.
Adanya opname hasil pekerjaan secara bersama-sama ini menimbulkan peluang kolusi antara petugas Pengguna Jasa dan petugas Penyedia Jasa. Di samping itu, hal ini akan merepotkan Pengguna Jasa karena harus menyediakan tenaga dan biaya untuk melakukan pengukuran ulang (remeasurement).
Barangkali inilah salah satu pertimbangan mengapa Pengguna Jasa, baik Pemerintah maupun sektor swasta, lebih suka memilih bentuk kontrak fixed lump sum price. Namun mungkin saja kedua bentuk kontrak ini digabungkan. Hal ini secara hukum dapat dibenarkan karena PP No. 29/ 2000 Pasal 20 ayat (3) huruf a angka 4 dan Pasal 21 ayat (4) mengatur hal ini. Secara teknis hal ini tak terhindarkan karena dalam suatu pekerjaan/ proyek besar yang kompleks mungkin saja beberapa bagian pekerjaan belum dapat ditentukan volumenya pada awalnya sehingga untuk pekerjaan ini diberlakukan bentuk harga satuan.
Sumber: Buku "Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia" - Ir. Nazarkhan Yasin.
Posting Komentar