Gambaran Umum Kontrak Konstruksi Sampai Saat Ini
Pada umumnya posisi Penyedia Jasa selalu lebih lemah daripada posisi Pengguna Jasa. Dengan kata lain posisi Pengguna Jasa lebih dominan daripada posisi Penyedia Jasa.
Penyedia Jasa hampir selalu harus memenuhi konsep/draft kontrak yang dibuat Pengguna Jasa karena Pengguna Jasa selalu menempatkan dirinya lebih tinggi dari Penyedia Jasa. Mungkin hal ini diwarisi dari pengertian bahwa dahulu Pengguna Jasa disebut Bouwheer (Majikan Bangunan) sehingga sebagaimana biasa "majlkan" selalu lebih "kuasa". Hal ini terjadi pada masa lalu sampai sekarang.
Peraturan perundang-undangan yang baku untuk mengatur hak-hak dan kewajiban para pelaku industri jasa konstruksi sampai lahirnya Undang-undang No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi, belum ada sehingga asas "Kebebasan Berkontrak" sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1338 dipakai sebagai satu-satunya asas dalam penyusunan kontrak. Dengan posisi yang lebih dominan, Pengguna Jasa lebih leluasa menyusun kontrak dan ini dapat merugikan Penyedia Jasa.
Ketidakseimbangan antara terbatasnya pekerjaan Konstruksi/Proyek dan banyaknya Penyedia Jasa mengakibatkan posisi tawar Penyedia Jasa sangat lemah. Dengan banyaknya jumlah Penyedia Jasa maka Pengguna Jasa leluasa melakukan pilihan.
Faktor KKN seperti "tender diatur", "tender arisan", nilai tender dinaikkan (markup), "pekerjaan fiktif", dan sebagainya menjadikan "wajah" kontrak konstruksi semakin tidak wajar atau buruk.
Adanya kekhawatiran tidak mendapatkan pekerjaan yang ditenderkan Pengguna Jasa/Pemilik Proyek menyebabkan Penyedia Jasa "rela" menerima Kontrak Konstruksi yang dibuat Pengguna Jasa. Bahkan sewaktu proses tender biasanya Penyedia Jasa enggan bertanya hal-hal yang sensitif namun penting seperti ketersediaan dana, isi kontrak, kelancaran pembayaran. Penyedia Jasa takut pihaknya dimasukkan dalam daftar hitam.
Dalam beberapa kejadian, seperti misalnya mendekati PEMILU, banyak sekali proyek yang kurang jelas atau sama sekali tidak ada anggarannya dengan tujuan men"sukses"kan PEMILU. Banyak Penyedia Jasa ikut tender walaupun tahu Proyek tersebut tidak ada anggarannya. Ini merupakan satu versi dari wajah Kontrak Konstruksi kita, yaitu sebuah kontrak tanpa anggaran tetapi ditandatangani, bahkan tidak jarang pakai selamatan/kenduri besar-besaran dan biasanya atas biaya Penyedia Jasa.
Model Kontrak Konstruksi
UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi baru diundangkan tahun 1999 dan baru mulai berlaku tahun 2000 maka sesuai asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam KUHPer Pasal 1338, banyak sekali model Kontrak Konstruksi.
Kontrak-kontrak tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu:
a. Versi Pemerintah
Biasanya tiap Departemen memiliki "standar" sendiri. Standar yang biasanya dipakai adalah standar Departemen Pekerjaan Umum. Bahkan Pekerjaan Umum memiliki lebih dari satu standar karena masing-masing Direktorat Jenderal (ada 3 buah) mempunyai standar sendiri-sendiri.
b. Versi Swasta Nasional
Versi ini beraneka ragam sesuai selera Pengguna Jasa/Pemilik Proyek. Kadang-kadang mengutip standar Departemen atau yang sudah lebih maju mengutip (sebagian) sistem Kontrak Luar Negeri seperti FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs Counsels), JCT (Joint Contract Tribunals) atau AIA (American Institute of Architects). Namun karena diambil setengah-setengah, maka wajah kontrak versi ini menjadi tidak karuan dan sangat rawan sengketa.
c. Versi/Standar Swasta/Asing
Umumnya para Pengguna Jasa/Pemilik Proyek Asing menggunakan Kontrak dengan sistem FIDIC atau JCT.
Kendala, Isi Kontrak (Kerancuan, Salah Pengertian, Benturan)
Tidak jarang pelbagai kontrak konstruksi seperti mengandung hal-hal rancu, salah pengertian, benturan pengertian, dan sebagainya.
a. Hal-hal yang rancu:
- Kontrak dengan sistem pembayaran pra pendanaan penuh dari Kontraktor (Contractor's full prefinance) dianggap Kontrak Rancang Bangun (Design Build/Turn Key)
- Penyelesaian Sengketa: Pengadilan atau Arbitrase (dalam kontrak keduanya disebut secara jelas).
b. Salah Pengertian
Salah satu salah pengertian yang sering terjadi dalam suatu kontrak konstruksi adalah Kontrak Fixed Lump Sum Price. Karena ada kata-kata "fixed", sering diartikan bahwa nilai kontrak tidak boleh berubah. Ini salah besar, sebab bila nilai kontrak tetap, bagaimana dengan perubahan pekerjaan.
c. Kesetaraan Kontrak
Umumnya Kontrak Konstruksl sampai saat ini belum mencapai predikat "adil dan setara" (fair and equal) layaknya suatu kontrak sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi dan PP No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Sebagai contoh:
- Apabila Penyedia Jasa lalai, pihaknya akan terkena sanksi berat, namun apabila Pengguna Jasa yang lalai, sanksinya ringan atau tidak ada sama sekali.
- Kelambatan penyelesaian pekerjaan akan dikenakan sanksi (denda) tetapi kelambatan pembayaran tidak mendapat ganti rugi (interest bank)
Isi Kontrak Kurang Jelas
Sering kali pengertian yang dipakai dalam suatu kontrak konstruksi tidak jelas atau tidak diberi definisi, misalnya:
- Jumlah hari pelaksanaan kontrak
Kata "hari" ini harus dijelaskan apakah berhubungan dengan hari kerja atau hari kalender. Apabila hari kerja, berapa hari/minggu (5 atau 6 hari). Bila hari kalender, kalender yang mana (Tahun Syamsiah/Tahun Masehi atau Tahun Komariah/Tahun Arab). Hal ini membawa konsekuensi cukup serius.
Bila hari yang dihitung hanya hari kerja 5 hari, maka akan ada 52 minggu x 2 hari = 104 hari yang tidak dihitung/sebagai hari untuk bekerja. Ini masih ditambah hari libur resmi yang tak kurang dari 15 hari. Dalam hal ini barangkah cara orang Barat dapat kita tiru, yaitu menghitung waktu pelaksanaan dalam hari Kalender Gregorius (Gregorian Calendar Days) yang berarti 365 hari per tahun (kecuali tahun kabisat 366 hari), 7 hari seminggu. - Kerancuan dalam penetapan saat mulai pelaksanaan pekerjaan apakah sejak tanggal kontrak, tanggal Surat Perintah Kerja atau saat Penyerahan Lahan yang biasa disebut Site Possesion. Hal ini akan berakibat fatal di kemudian hari apabila terjadi kelambatan penyelesaian pekerjaan.
- Dokumen kontrak tidak lengkap dan isi dokumen bertentangan satu sama lain sehingga meyulitkan pelaksanaan.
- Pengawasan kontrak tidak berjalan sebagaimana mestinya. Manajemen Konstruksi tidak berjalan/berfungsi optimal. Pengguna Jasa sering mencampuri secara langsung pelaksanaan di lapangan yang sesungguhnya sudah didelegasikan kepada Manajer Konstruksi sebagai Pengawas Lapangan. Hal ini akan menyulitkan Penyedia Jasa.
Kepedulian pada Kontrak Konstruksi
Kepedulian baik Penyedia Jasa maupun Pengguna Jasa terhadap kontrak konstruksi sangat rendah. Biasanya kontrak dibuat rekamannya dalam jumlah banyak (kadang-kadang lebih dari 10 eksemplar). Setiap instansi yang belum tentu ada relevansinya dengan kontrak tersebut masing-masing mendapat 1 eksemplar.
Tetapi jangankan dibaca, dibuka saja barangkali tidak pernah, sampai kontrak tersebut berakhir. Buku kontrak tersebut hanya menjadi pajangan dalam lemari. Kontrak baru mulai dilihat apabila timbul masalah. Penyelesaian masalah menjadi terhambat karena perlu cukup waktu lama untuk memahami isi kontrak tersebut.
Administrasi Kontrak
Oleh karena kepedulian pada kontrak sangat rendah, maka pengelolaan administrasi kontrak tidak berjalan dengan baik. Petugas yang definitif dan profesional serta khusus mengolah kontrak tidak ada. Yang ada biasanya petugas yang merangkap tugas lain dan kebanyakan tidak memenuhi kualifikasi sebagai administrator kontrak.
Klaim Kontrak Konstruksi
Sampai tahun 1997 hampir-hampir tidak pernah terdengar ada Penyedia Jasa yang mengajukan klaim konstruksi. Hal ini mungkin disebabkan Penyedia Jasa takut mengajukan klaim. Klaim dianggap hal yang tabu karena pengertian yang keliru. Klaim dianggap sebagai tuntutan, padahal arti sesungguhnya tidak lebih dari suatu permintaan. Benar, klaim dapat berubah menjadi tuntutan atau gugatan apabila klaim tadi tidak dipenuhi.
Yang muncul adalah baru klaim-klaim dari perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Penulis mendengar ada satu perusahaan industri jasa konstruksi berasal dari Prancis yang dikenal sebagai ahli klaim sehingga diberi julukan "Claim Artist" memenangkan tender pembangkit pusat listrik tenaga air yang besar di Jawa Barat dengan biaya jutaan dolar. Begitu ahlinya dia menyusun klaim, nilai klaim yang diajukan hampir mendekati nilai kontrak dan terbukti klaimnya diterima dan dibayar. Mungkin itulah sebabnya mengapa pada waktu tender perusahaan tersebut mengajukan penawaran harga yang rendah (karena dari semula dia telah melihat peluang klaim yang sangat besar).
Sumber: Buku "Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia" - Ir. Nazarkhan Yasin.
http://www.indolawcenter.com
Posting Komentar