JOURNAL GONJANG-GANJING PERPU TENTANG PENYELEKSIAN ULANG HAKIM AGUNG

Minggu, 29 Mei 20110 komentar

GONJANG-GANJING PERPU
TENTANG PENYELEKSIAN ULANG HAKIM AGUNG
Oleh: Pan Mohamad Faiz Kusumawijaya, S.H.
(Artikel Oktober 2005)

Pendahuluan

Hampir sebulan lebih, terhitung sejak pertemuan antara Komisi Yudisial dengan Presiden RI pada tanggal 4 Januari 2006, wacana mengenai penyeleksian ulang Hakim Agung yang digagas oleh Komisi Yudisial terus menjadi headline di berbagai media massa. Gagasan tersebut dikemukakan sebagai bagian dari upaya mereformasi dunia peradilan di Indonesia yang saat ini dianggap dalam posisi titik nadir terendah dan ditambah dengan kegagalan Pimpinan Mahkamah Agung (MA) dalam menjalankan fungsi manajerial dalam mengelola MA sebagai institusi peradilan tertinggi.
Dapat kita perkirakan bersama bahwa ide yang dianggap cukup revolusioner tersebut sudah pasti mendatangkan dua arus Pro-Kontra yang cukup kuat. Hasil penelusuran Penulis menemukan bahwa pihak-pihak yang mendukung gagasan tersebut, salah satunya yaitu Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), didasari atas kepentingan untuk melakukan reformasi peradilan yang dirasakan mandeg di tengah jalan. Sedangkan mereka yang kontra, seperti misalnya Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), mendasari alasannya bahwa ide Komisi Yudisial untuk menyeleksi ulang Hakim Agung sudah menyimpang jauh dan di luar batas kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial itu sendiri, menabrak norma hukum yang ada, bahkan dianggap sebagai suatu bentuk intervensi kekuasaan eksekutif terhadap lembaga yudikatif.

Dengan berpegang teguh pada keyakinan untuk meneruskan arah reformasi peradilan, draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) ternyata tengah dirancang oleh Komisi Yudisial dibantu oleh berbagai komponen lainnya guna dijadikan payung hukum sebagai dasar pelaksanaan rencananya itu. Hal tersebut didasari bahwa Undang-undang tentang MA memang hanya mengatur rekrutmen Hakim Agung secara normal apabila yang bersangkutan habis masa jabatan atau diberhentikan, dan tidak sedikit pun mengatur mengenai mekanisme penyeleksian ulang Hakim Agung.
Tulisan berikut bukan untuk mengembangkan pewacanaan terhadap munculnya Pro-Kontra yang diusung oleh berbagai pihak, tetapi mencoba untuk lebih memfokuskan diri atas analisa yuridis-sosiologis terhadap rencana dikeluarkannya produk perundang-undangan berupa Perpu sebagai payung hukum guna melaksanakan penyeleksian ulang Hakim Agung tersebut.

Kegentingan Yang Memaksa

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) memang diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menentukan bahwa: (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut. Ketentuan tersebut dipertegas di dalam Pasal 1 angka (4) dan Pasal 25 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa syarat utama penetapan sebuah Perpu oleh Presiden yaitu adanya suatu keadaan ”kegentingan yang memaksa”. Namun demikian, dalam penjelasan UU tidak dijelaskan apa definisi atau prasyarat dari ketentuan ”kegentingan yang memaksa” yang dimaksud. Oleh karena itu yang menjadi pertanyaan bagi kita semua apakah keadaan yang terjadi pada saat ini, khususnya di dalam sistem peradilan Indonesia, dapat dikategorikan sebagai keadaan yang menggambarkan suatu term ”kegentingan yang memaksa”? Sehingga layaklah suatu Perpu tentang penyeleksian ulang Hakim Agung dikeluarkan oleh Presiden.
Memang hingga saat ini belum ada ukuran yang jelas dan terukur tentang apa yang dimaksud dengan hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” yang dapat menjadi alasan keluarnya Perpu. Menurut Prof. Ismail Sunny mengenai keluarnya suatu Perpu dapat diartikan keadaan darurat, lebih dari itu tidak ada. Namun pemerintah bisa mengartikannya hal tersebut secara luas, dan dalam Hukum Tata Negara keadaan darurat jelas pengertiannya luas sekali.
Bila kita menelaah sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, hampir sebagian besar Perpu selalu dikeluarkan oleh Presiden pada saat negara berada dalam posisi darurat (noodsverordeningsrech). Maka dari itu, ada baiknya penulis mengajak kita semua untuk menelusuri kembali perjalanan konstitusi RI –walaupun kini hanya dikategorikan sebagai sebuah dolumen historis– yang memberikan beberapa penjelasan mengenai hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” sebagai suatu rujukan interpretasi historis.
Pasal 139 Konstitusi RIS menjelaskan bahwa: (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera; dan (2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa undang-undang federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut. Sedangkan dalam Pasal 96 UUDS 1950 diatur ketentuan bahwa: (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera; (2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan derajat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, memberikan penjelasan bahwa pasal tersebut mengenai noodverordeningsrecht Presiden, dimana aturan tersebut diadakan supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam Pasal 22 dimaksud, yang kekuatannya sama dengan UU, harus disahkan pula oleh DPR.
Maka dari itu, persepsi yang timbul di sebagian masyarakat bahwa hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” yaitu suatu keadaan dimana negara dalam keadaan darurat untuk segera dilakukan penyelamatan, sehingga sedikit banyak harus merujuk pada Undang-undang (Prp) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Namun demikian, Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”, sehingga hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, sebenarnya tidak sama dengan ”keadaan bahaya” seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya yang tertuang dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang memang harus didasarkan atas kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang merupakan hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.
Keterangan tersebut di atas tertuang secara jelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai the interpreter of constitution terhadap perkara No. 003/PUU-III/2005 mengenai perkara Judicial Review UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
Terlebih lagi, dalam praktik ketetanegaraan selama ini, dari berbagai Perpu yang pernah dikeluarkan oleh Presiden menunjukkan adanya kecenderungan penafsiran hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” sebagai keadaan mendesak yang perlu diatur dengan peraturan setingkat undang-undang (misalnya Perpu No. 1 Tahun 1992 tentang Penangguhan Berlakunya Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, atau Perpu-Perpu yang terkait dengan Pemilu, Pilkada, dll), yang kesemuanya itu tidak ada kaitannya dengan keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan UU (Prp) No. 3 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Ketidakhati-hatian Berbuah Malapetaka

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” dalam penetapan suatu Perpu pada dasarnya merupakan hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Meskipun demikian, Mahkamah juga memberikan rambu-rambu agar hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” dalam sebuah Perpu yang selanjutnya akan dikeluarkan oleh Presiden, agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara yang tercermin dalam konsiderans ”Menimbang” dari Perpu yang bersangkutan
Oleh karenanya, jiwa konstitusi sesungguhnya tidak memberikan hak subjektif kepada Presiden an sich untuk mengeluarkan Perpu secara serampangan, tetapi Perpu tersebut harus menggambarkan secara utuh kandungan ruh “kegentingan” yang menjadi latar belakang keluarnya Perpu yang bersangkutan.
Ketidakhati-hatian dalam pembentukan suatu Perpu tentang Penyeleksian Ulang Hakim Agung, baik secara formil maupun materiil, justru dapat menjadi malapetaka tersendiri bagi bangsa ini. Kita semua menyadari bahwa terdapat suatu gelombang besar yang tidak sependapat dengan gagasan penyeleksian ulang Hakim Agung —baik dengan maupun tidak dengan sebuah Perpu sebagai payung hukumnya—yang menurut penulis kini berada di dalam dasar lautan menunggu waktu yang tepat untuk menghadang gagasan tersebut dengan cara-cara yang konstitusional. Dan hal tersebut sah-sah saja sebagai prinsip yang dijamin oleh sebuah negara hukum (rechtstaats) sepanjang dilakukan dengan cara-cara yang konstitusional pula.
Mengenai materi muatan Perpu dijelaskan dalam Pasal 9 UU No. 10 Tahun 2004, bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Lalu apa yang menjadi materi muatan Undang-Undang? Kembali kepada Pasal 8 dalam undang-undang yang sama disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: (1) hak-hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara; (3) pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; (4) wilayah negara dan pembagian daerah; (5) kewarganegaraan dan kependudukan; (6) keuangan negara; dan diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Untuk tata cara penetapan Perpu menjadi UU diatur dalam Pasal 25 UU No. 10 Tahun 2004 yang menyebutkan: (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang; (3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku; (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Menjadi catatan khusus bagi Pemerintah, Komisi Yudisial, serta pihak-pihak lain yang mendukung keluarnya Perpu tentang Penyeleksian Ulang Hakim Agung, agar berhati-hati dan memperhatikan secara sungguh-sungguh penyusunan dan pembentukan Perpu tersebut, sehingga Perpu yang dikeluarkan pada nantinya tidak mencerminkan bad laws yang memiliki cacat hukum di dalamnya. Analisa penulis, terhadap Perpu tersebut kemungkinan dapat terjadi 2 (dua) proses pengujian yang melibatkan lembaga yang berhak untuk melakukan pengujian (toetsingsrecht), yaitu legislative review yang dilakukan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislator, dan judicial review pada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan.
Sudah barang tentu, untuk ditetapkan menjadi UU, produk Perpu mau tidak mau harus melalui lembaga DPR guna memperoleh persetujuan. Maka yang terjadi pada saat itu adalah proses legislative review, yang digunakan untuk menentukan apakah Perpu tersebut layak untuk ditetapkan menjadi undang-undang.
Kemudian pengujian lainnya dapat juga dilakukan di hadapan Mahkamah Konstitusi. Saat ini memang masih terjadi perdebatan tersendiri mengenai dapat-tidaknya suatu Perpu dijadikan obyek judicial review ke hadapan Mahkamah Konstitusi, karena UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya mengatakan bahwa judicial review hanya dapat dilakukan atas suatu UU terhadap UUD. Namun, hemat penulis produk Perpu pun sebenarnya dapat juga dijadikan obyek pengujian terhadap UUD, dengan alasan: (1) Materi muatan yang terkandung di dalam UU maupun Perpu adalah sama; (2) Antara UU dan Perpu mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga jika Mahkamah Konstitusi tidak berwenang maka tidak ada satupun lembaga yang dapat melakukan pengujian terhadap sebuah Perpu, termasuk Mahkamah Agung sekalipun, karena kewenangannya hanyalah melakukan judicial review peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU di atasnya; (3) Seandainya Perpu tidak dapat dijadikan obyek judicial review oleh lembaga judisial manapun, maka besar kemungkinan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden akan berpotensi untuk menjelma menjadi hukum otoriter, represif, sewenang-wenang, dan bergerak sesuai kehendak penguasa dengan libido kekuasaan belaka (machstaat), meskipun hal tersebut hanya terjadi beberapa saat (hingga DPR melaksanakan sidang) namun dapat menimbulkan korban yang meluas, karena dapat dilakukan secara berulang-ulang tanpa batasan atau koridor-koridor konstitusional.
Namun yang perlu digarisbawahi, pun seandainya Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang memeriksa judicial review atas suatu Perpu, logika sederhananya adalah kita hanya tinggal menunggu waktu saja ketika Perpu tersebut disahkan untuk menjadi sebuah produk UU maka kemudian dapat diajukan sebagai permohonan judicial review kembali.
Bila semua proses pembentukan Perpu tentang Penyeleksian Ulang Hakim Agung menjadi sebuah UU berjalan dengan lancar, dan jikalau ada permohonan judicial review atas peraturan perundang-undangan tersebut ternyata juga tidak dikabulkan, maka tidak akan terjadi permasalahan atau akibat negatif apapun, karena notabennya telah terbukti secara hukum keabsahan dari lahirnya peraturan perundang-undangan tersebut.
Akan tetapi, menjadi permasalahan besar tatkala Perpu tersebut tidak lolos melewati “batu uji”, baik itu di dalam proses legislative review maupun judicial review. Resiko yang kemungkinan besar akan kita hadapi bersama jikalau hal tersebut benar-benar terjadi yaitu menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan akan berimbas juga atas ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga eksekutif maupun legislatif. Akan teramat sulit bagi masyarakat untuk mencari tahu, siapa sebenernya yang kini dapat dipercaya untuk membenahi dunia peradilan. Lebih parah lagi, seandainya sudah terjadi penyeleksian ulang terhadap Hakim Agung yang ada sekarang ini, dan ternyata di kemudian hari peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelaksanaannya tersebut mempunyai cacat hukum sehingga harus dicabut, maka yang terjadi adalah semakin rusaknya sistem kekuasaan kehakiman di Republik ini. Dan tidak tertutup kemungkinan, kesalahan pemerintah dalam mengeluarkan Perpu tersebut beserta berbagai akibat yang ditimbulkannya, justru dapat dikumpulkan dan dijadikan amunisi untuk proses pemakzulan oleh pihak-pihak yang tidak senang terhadap pihak yang berkuasa saat ini.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk benar-benar memahami secara utuh dan berhati-hati dalam proses pembentukan Perpu yang direncanakan itu, termasuk alasan-alasan yang akan dijadikan konsideran terhadap hal ikhwal “kegentingan yang memaksa” sebagai syarat utama keluarnya suatu Perpu. Jika ternyata dirasa tidak cukup alasan konstitusional dikeluarkannya Perpu dimaksud, maka pemerintah tidak perlu untuk memaksakan diri untuk menindaklanjuti pembentukan Perpu tersebut guna memenuhi keinginan dan kehendak pihak-pihak yang mengusungnya. Namun demikian, terlepas dari jadi-tidaknya Pemerintah mengeluarkan Perpu tersebut, semangat yang harus tetap dijaga oleh seluruh pihak adalah pembenahan reformasi peradilan harus terus digulirkan, dan kesemuanya itu dapat dilakukan dengan berbagai cara sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi dan norma hukum yang berlaku.

Fiat justitia et pereat mundus!
Oktober 2005

Penulis adalah Alumnus FHUI dan Peneliti pada
Institute of Indonesian Law and Governance Development (IILGD)
(pm_faiz_kw@yahoo.com / http://jurnalhukum.blogspot.com.)
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Rosma
Copyright © 2011. Rosma - All Rights Reserved
Published by Hafid Cyber
Proudly powered by Blogger