MENABUR BENIH CONSTITUTIONAL COMPLAINT
Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H.
PENDAHULUAN
Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H.
PENDAHULUAN
Konstitusi bangsa Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaats). Menurut pemikiran Friedrich Julius Stahl, salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (basic rights/fundamental rights).
Agar dapat selalu mengikuti perkembangan dan pemenuhan akan hak-hak dasar manusia, maka sebuah konstitusi haruslah mempunyai aspek yang dinamis dan mampu menangkap fenomena perubahan sejarah (historical change), sehingga dapat menjadikannya sebagai suatu konstitusi yang selalu hidup (living constitution).
Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil representatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan basic rights dan konstitusi itu sendiri. Dengan kata lain, konstitusi harus diutamakan, dan maksud atau kehendak rakyat harus lebih utama daripada wakil-wakilnya.
PENGAWAL KONSTITUSI
Hasil amandemen ketiga UUD 1945, telah melahirkan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), yaitu Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) yang mempunyai kedudukan setara dengan Mahkamah Agung, berdiri sendiri, serta terpisah (duality of jurisdiction) dengan Mahkamah Agung.
Dalam menjalankan fungsinya mengawal konstitusi, berdasarkan Pasal 24C UUD Negara RI Tahun 1945 juncto Pasal 10 Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban dengan perincian sebagai berikut: menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD (disputes regarding state institution’s authority), memutus pembubaran partai politik (political party’s dissolution), dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (disputes regarding General Election’s result); dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (pemakzulan atau impeachment).
Kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan kewenangan yang dimilikinya saat ini, Mahkamah telah mampu menjalankan fungsinya untuk mengawal konstitusi termasuk di dalamnya terhadap basic rights atau fundamental rights setiap rakyat Indonesia?
Terhadap hal tersebut, hemat penulis, nampaknya masih terdapat satu hal mendasar yang masih mengganjal di benak para pencari keadilan, yaitu belum terbukanya fungsi Mahkamah selaku lembaga yang dapat menampung dan menyalurkan keluh kesah (personal grievance) atau pengaduan konstitusional sebagai upaya hukum yang luar biasa dalam mempertahankan hak-hak konstitusional bagi setiap individu warga negara, atau lebih dikenal dengan istilah constitutional complaint.
CONSTITUTIONAL COMPLAINT
Wacana mengenai kemungkinan diberikannya fungsi pengaduan konstitutisonal (constitutional complaint) kepada Mahkamah bukanlah hal yang baru. Berbagai artikel yang pernah ditulis oleh pakar-pakar hukum dan beberapa pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi, secara tersirat telah memberikan sinyalemen bahwa kebutuhan akan fungsi constitutional complaint merupakan suatu keniscahyaan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Hal yang demikian janganlah kita aggap sebagai pemikiran dari suatu judicial activism yang berlebihan. Sebab, hasil penelusuran penulis terhadap surat-surat maupun permohonan yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi selama tahun 2005, sedikitnya terdapat 48 surat ataupun permohonan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk constitutional complaint atau sejumlah 3 (tiga) kali lipat permohonan judicial review pada tahun yang sama.
Bahkan, karena begitu pentingnya fungsi pengaduan konstitusional terkait dengan penegakan konstitusi dengan aras yang lebih konkret dan langsung mengenai kepada setiap warga negara, 2 (dua) orang Hakim Konstitusi dalam dissenting opinion-nya pada Putusan Nomor 001/PUU-IV/2006 mengenai perkara Badrul Kamal, terlepas dari putusan akhir dari keduanya, kali ini secara tegas dapat dikatakan telah mulai menanamkan benih-benih constitutional complaint dengan cara melakukan penafsiran bahwa Mahkamah seharusnya dapat menampung pengaduan konstitusional (constitutional complaint) atas pelanggaran hak-hak konstitutional warga negara karena sesungguhnya telah memiliki dasar hukum yang cukup berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Genhard Dannemann dalam bukunya “Constitutional Complaints: The European Perspective” menyimpulkan bahwa kewenangan constitutional complaint yang sebelumnya hanya dimiliki oleh beberapa negara Eropa, kini sudah berkembang pesat dan telah diadopsi hampir di seluruh negara-negara Eropa Tengah dan Timur.
Salah satu Mahkamah Konstitusi yang pertama kali menerapkan dan mengembangkan kewenangan constitutional complaint adalah Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts). Kewenangan yang didasari pada Pasal 93 ayat (1) butir 42 Grundgesetz Bundersrepublik Deutchland tersebut, menurut Jutta Limbach, merupakan kewenangan terpenting yang kini dimilki oleh Bundesverfassungsgerichts, dimana hingga saat ini lebih dari 146.539 permohonan telah diperiksa oleh Bundesverfassungsgerichts dan 141.023 diantaranya adalah permohonan mengenai constitutional complaint.
Contoh kasus constitutional complaint yang cukup terkenal di Jerman yaitu mengenai tuntutan soal larangan penyembelihan hewan karena dinilai bertentangan dengan undang-undang tentang perlindungan hewan. Masyarakat muslim Jerman yang merasa berkeberatan mengajukan hal ini ke Bundesverfassungsgerichts karena dinilai bertentangan dengan kebebasan menjalankan agama. Sebab, ajaran Islam justru mewajibkan hewan disembelih terlebih dulu sebelum halal dimakan. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman mengabulkan tuntutan itu dengan alasan kebebasan beragama adalah sebuah soal yang diatur dalam konstitusi, sedangkan larangan penyembelihan hewan hanya berada pada wilayah ketentuan di bawah undang-undang dasar.
Di benua Afrika, salah satu negara yang juga mempunyai Mahkamah Konstitusi dengan memiliki kewenangan constitutional complaint yaitu Afrika Selatan. Menurut Deputy Chief Justice, Monseneke, pelayanan terhadap constituional complaint di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dalam setahun terakhir ini telah tercatat berjumlah 570 perkara. Sedangkan di Asia, Korea Selatan adalah negara yang sudah lama menerapkan constitutional complaint (HUN-MA dan HUN-BA) sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusinya berdasarkan Pasal 68 ayat (1) dan (2) The Constitutional Court Act of Korea. Data yang berhasil dihimpun oleh penulis, tidak kurang sebanyak 11.679 perkara constitutional complaint telah diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi Korea. Kemudian beberapa negara lainnya yang juga memiliki kewenangan serupa yaitu Azerbaijan, Bavaria (Pasal 66 Constitution of The State of Bavaria), Kroasia (Bagian kelima Pasal 62 s/d 80 The Constitutional Act on the Constitutional Court of the Republic of Croatia), dan masih banyak lagi.
POST SCRIPTUM
Mengagungkan pengakuan basic rights tanpa perlindungan atau mendengung-dengungkan perlindungan tanpa tersedia upaya hukum yang cukup adalah sama-sama pengingkaran terhadap pengakuan dan perlindungan basic rights setiap warga negara. Oleh sebab itu, haruslah dikembangkan pemikiran mengenai kemungkinan perluasan kewenangan constitutional complaints atau pengaduan konstitusional yang berkaitan dengan basic rights setiap indvidu kepada Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, akan terselenggara pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law dengan adanya perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu, juga menentukan pula cara prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin tersebut, sebagaimana yang dikembangkan oleh Roscoe Pound dalam hal hukum sebagai alat perekayasa sosial (law is a tool of social engineering).
Namun yang perlu dijadikan catatan di sini, budaya kesadaran berkonstitusi bangsa ini juga harus mulai ditumbuhkembangkan, seiring dengan kesiapan dari Mahkamah itu sendiri dalam menerima, mengadili, dan memutus setiap permohonan constitutional complaints yang masuk kepadanya.
Seyogyanya jika instrumen ini telah nyata menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, maka dapat kita prediksi bahwa Mahkamah akan kebanjiran permohonan mengenai constitutional complaint, sebab hingga saat ini disinyalir begitu banyak hasil warisan kebijakan publik yang dianggap telah melangkahi basic rights warga negara Indonesia.
Sebagai perbandingan, menurut keterangan Prof. DR. Dieter Umbach di sela-sela dialognya yang bertema ”The Constitutional Complaint at The Constitutional Court” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada November yang lalu, negara Jerman yang relatif stabil di dalam sistem ketatanegaraannya, hampir setiap tahunnya masih harus memeriksa kurang lebih 5.000 permohonan constitutional complaints. Maka dapat kita bayangkan, dalam mengejar angan tersebut, selain membutuhkan kesiapan yang cukup matang, sebenarnya sangat membutuhkan dukungan dari berbagai stakeholder bangsa ini. Oleh karena itu, sebagai batasannya, menurut penulis sebaiknya permohonan constitutional complaint baru dapat diperiksa jikalau upaya-upaya hukum yang tersedia telah habis (exhausted).
Di sisi lain, dengan adanya instrumen constitutional complaint ini, maka lambat laun akan tercipta kesadaran di tengah-tengah masyarakat untuk membela diri di hadapan hukum ketika hak-hak dasar mereka dilanggar. Selain itu, berbagai kebijakan yang menyentuh ranah publik dan warga negara biasa, dengan sendirinya akan mempunyai kepekaan terhadap perlindungan dan pemenuhan basic rights atau fundamental rights bagi setiap individu masyarakat.
Berangkat dari seluruh uraian di atas, menjadi pertanyaan sekarang adalah mungkinkah di masa yang akan datang kita dapat menuai hasil constitutional complaint? Jawabannya akan ditentukan dari sejauh mana para pemimpin bangsa ini mampu memaknai seberapa urgent dan pentingnya kewajiban negara dalam melindungi basic rights setiap warga negaranya sendiri.
Wallahualam bish shawab.
PS : Tulisan ini pernah dimuat dalam Official Website of Sarwono (DPD), TheCeli Website, dan Koran Kedaulatan Rakyat.
Penulis adalah Peneliti
Institute of Indonesian Law and Government Development (IILGD),
Mantan Ketua Senat Mahasiswa dan Dewan Pers Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(Contact: pm_faiz_kw@yahoo.com / http://jurnalhukum.blogspot.com.)
Daftar Pustaka:
Albert Hasibuan, Implikasi Amandemen Konstitusi dalam Pembangunan Hukum, Komisi Hukum Nasional 2005.
Arif Zaynalov, Constitutional Court of Azerbaijan.
Berita Mahkamah Konstitusi (BMK) Edisi No. 13 Nopember – Desember 2005.
Constitutional Court Act of Korea.
Constitutional Court Act of Germany.
Juridiction of the Constitutional Court of the Republic of Croatia.
Jutta Limbach, On the Role of the Federal Constitutional Court of Germany.
Genhard Danneman, Constitutional Complaints: European Perspective. International and Comparative Law Quarterly, 1994.
Prof. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme. KonPress 2005.
Prof. Laica Marzuki, Berjalan-jalan di ranah Hukum. KonPress 2005.
Refly Harun, Mahkamah Konstitusi dan Akses Keadilan, Justice for the Poor Project, World Bank.
dll.
Labels: HAM, Hukum Tata Negara, Mahkamah Konstitusi
Posting Komentar