Praktik Perlindungan HaKI Tradisional di Indonesia
Ide pematenan memerlukan waktu yang panjang diterapkan di Indonesia; pertama karena hukum nasional kita belum mendukung. Seperti belum ada yang mengakomodir apakah sekelompok kekerabatan bisa memperoleh Hak Cipta dan Hak Paten atau tidak adanya pengakuan bahwa pengetahuan tradisional dianggap sebagai temuan (invention) sehingga bisa menjadi obyek Hak Cipta dan Hak Paten. Kedua, karena belum ada kesepakatan diantara aktivis pro masyarakat adat mengenai HAKI ini. Para aktivis pro masyarakat adat masih ambigu apakah perlu untuk memperjuangkan HAKI bagi masyarakat adat atau tidak. Pandangan bahwa HAKI adalah bagian dari sisem kapitalis yang menegasikan prinsip religio magis yang banyak dianut masyarakat adat, serta bersifat individual karena hanya memberi hak pada seseorang atau sekelompok orang, bertentangan dengan sifat masyarakat adat yang lebih menonjolkan kebersamaan. Pendekatan kapitalis dan individual tersebut dianggap tidak selaras dengan jiwa masyarakat adat. Ini yang melandasi penolakan di atas.23
Namun begitu, beberapa langkah penting dalam perlindungan HaKI teknologi tradisional telah diambil oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pada tahun 2002, sebagai pilot project kegiatan tersebut dilakukan inventarisasi karya pengetahuan tradisional yang ada di masing-masing daerah. Data yang diperoleh melalui deskripsi-deskripsi tersebut nantinya secara bertahap akan dimasukkan ke dalam data base untuk memudahkan kepemilikan suatu karya dan produk pengetahuan teknologi tradisional masuk dalam perlindungan HaKI.24
Perlindungan pengetahuan tradisional juga dilakukan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak 2004, dengan menginventarisasi dan mendokumentasi pengetahuan tradisional diseluruh wilayah melalui Sentra HKI atau Unit Pengelola Kekayaan Intelektual. Saat ini telah terinventarisasi 2.000 lebih pengetahuan tradisional yang terdiri dari beberapa kelompok yaitu tanaman obat dan pengobatan, seni ukir dan pahat tradisional, seni tenunan tradisional, seni arsitektur tradisional, pangan dan masakan tradisional, kelompok pemuliaan tanaman, bahan pewarna alami, jenis-jenis kayu, dan pestisida nabati.25
Langkah lain yang diambil oleh pemerintah menyikapi pengklaiman adalah dengan membentuk tim pakar yang bertugas mengkaji kesenian tradisional. Langkah ini diambil dalam kasus klaim lagu daerah rasa sayange dan Reog Ponorogo. Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, pemerintah akan membentuk tim pakar untuk mengkaji dan memilah kesenian tradisional milik Indonesia dan Malaysia sehingga tidak terjadi saling klaim terutama yang termasuk kategori `grey area` seperti lagu-lagu yang sudah ada sejak dahulu, berkembang di kedua negara itu namun tidak jelas penggubahnya. Kemiripan budaya dan kesenian antara Indonesia dan Malaysia, menurut Menbudpar, sangat wajar karena banyak penduduk Malaysia yang berasal dari Indonesia dan bermukim sejak lama. Meski demikian, kata Jero Wacik, pemerintah tetap akan meningkatkan perlindungan terhadap seni dan budaya tradisional itu sehingga tidak diklaim oleh negara lain.26
Jadi, perlu disadari bahwa berbagai perundangan HaKI pada kenyataannya tidak dapat melindungi pengetahuan dan kearifan tradisional (traditional knowledge and genius. Beberapa kasus di atas justru menjelaskan bahwa dengan adanya HaKI justru terjadi ”pembajakan” klaim hak paten dari sebuah pengetahuan tradisional. Terlihat dari mulai banyak pihak di negara-negara berkembang yang berusaha keras menuduh, upaya individu atau perusahaan negara maju yang mematenkan ”produk barunya” itu banyak yang berbasis pada pengetahuan tradisional dan lokal yang berupa ”milik umum” komunitas lokal negara-negara berkembang itu. Negara-negara maju dengan keras menghendaki agar pengetahuan tradisional, ekspresi budaya, dan sumber daya genetik itu dibuka sebagai public property atau public domain, bukan sesuatu yang harus dilindungi secara internasional dalam bentuk hukum yang mengikat. Negara-negara berkembang, justru sebaliknya, menginginkan agar instrumen hukum internasional dapat diwujudkan karena perlindungan hukum nasional kurang mencukupi
Upaya Perlindungan
Dari berbagai pertemuan WIPO telah dihasilkan beberapa perkembangan dalam hal upaya global, untuk melindungi pengetahuan tradisional, ekspresi budaya folklore, dan sumber daya genetik. Namun, untuk sampai kepada keputusan bersama di kalangan negara anggota WIPO masih ada hambatan karena negara-negara maju menghendaki agar pengetahuan tradisional, ekspresi budaya, dan sumber daya genetik itu dibuka sebagai public property atau public domain,bukan sesuatu yang harus dilindungi secara internasional dalam bentuk hukum yang mengikat. Negara-negara berkembang, justru sebaliknya, menginginkan agar instrumen hukum internasional dapat diwujudkan karena perlindungan hukum nasional kurang mencukupi. Selain negara-negara berkembang merasa prihatin karena pembahasan tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2001.
Dalam pertemuan itu negara-negara berkembang mengusulkan agar Intergovermental Committee (IGC) melakukan pendekatan yang holistik dan inklusif agar ada solusi yang konstruktif bagi semua. Sejalan dengan pandangan itu, Indonesia menegaskan kembali agar semua delegasi dapat secara kreatif dan fleksibel menjajaki semua kemungkinan yang dapat mendorong langkah maju IGC secara bertahap menuju pembentukan instrumet yang secara hukum international mengikat.
Sebaliknya, Uni-Eropa dan beberapa negara Eropa lainnya, menegaskan bahwa sebaiknya langkah IGC menuju pada pembentukan instrumen yang tidak mengikat (nonbinding instrument) melalui pendekatan bertahap dan mengusulkan agar revisi draft objective dan principle pengetahuan tradisional, ekspresi budaya dan sumber daya genetik dalam bentuk deklarasi atau rekomendasi alias soft law, saja.28
Menurut Dadang Sukand29, pemerintah dapat memanfaatkan perundang-undangan HKI untuk mengatur perlindungan pengetahuan tradisional. Hal ini karena ketentuan-ketentuan dalam konsep HKI mengandung gagasan perlindungan pengetahuan tradisional seperti yang sering dibicarakan WIPO atau CBD yang membahas sistem benefit sharing atas penggunaan sumber-sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional.
Namun menurutnya, melindungi pengetahuan tradisional melalui konsep HKI juga memiliki beberapa kelemahan-kelemahan.Pertama, HaKI menimbulakan perbenturan antara sistem kepemilikan komunal dan individual; kedua, peraturan HKI mungkin hanya sesuai untuk melindungi aspek ekonomis dari pengetahuan tradisional, namun kurang dapat melindungi aspek spiritual dan cultural identity.
Dengan demikian, pemanfaatan konsep HKI untuk melindungi pengetahuan tradisional dapat dilakukan dengan beberapa cara alternatif berikut. Pertama, melakukan amandemen peraturan-peraturan HKI yang ada saat ini.
Kedua, pengetahuan tradisional dapat dilindungi dengan perundang-undangan sistem Sui Generis atau mandiri di luar HKI. Pengetahuan tradisional tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tapi juga bernilai magis dan kultur. Hal itu yang membuat beberapa negara seperti Thailand, Filipina dan Costa Rica memilih sistem Sui Generis untuk mengatur pengetahuan tradisional mereka sehingga dapat memberikan perlindungan secara lebih komprehensif.
Ketiga, pendokumentasian dalam melindungi pengetahuan tradiosional. Hal ini penting untuk menyelesaikan pertikaian seandainya ada klaim ganda atas suatu pengetahuan tradisional tertentu. pendokumentasian ini merupakan suatu defensive protection system yang mengandung dua aspek, hukum dan praktis. Secara hukum, dokumentasi pengetahuan tradisional merupakan dokumen pembanding dari suatu penemuan. Apakah suatu invensi yang akan didaftarkan paten memiliki unsur kebaruan (Novelty) yang merupakan syarat patent aplication? Untuk menjawab ini, Pemeriksa Paten (Patent Examiner)dapat membandingkannya dengan data base tersebut.
Secara praktis, database nasional dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, pemerintah atau LSM untuk melakukan oposisi paten. Apabila suatu invensi misalnya diklaim oleh pihak asing melalui paten, database akan berguna sebagai literartur untuk melakukan penolakan terhadap paten yang akan didaftarkan atau pembatalan paten yang telah didaftarkan. Namun syaratnya, perlu peran aktif dari masyarakat dan pemerintah serta kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses dokumen tersebut.
Keempat, mekanisme Benefit Sharing yang tepat antara masyarakat lokal dan pihak asing. Karena Indonesia belum memiliki pengalaman mengembangkan mekanisme benefit sharing semodel ini, Agus Sardjono menunjuk sistem yang dikembangkan dalam CBD. Dalam CBD telah dibentuk suatu working group yang merumuskan draft guidelines on access and benefit sharing. Langkah yang perlu diambil adalah pertama dengan membangun kemampuan nasional (capacity building). Hal ini agar Indonesia sebagai pemilik kekayaan sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional siap dalam memanfaatkan sumber daya tersebut untuk pihak asing. Kelima, dengan memberdayakan LSM sebagai representasi masyarakat lokal dengan dukungan lembaga internasional semisal WIPO.
Selain melalui langkah-langkah legal di atas, terdapat upaya pematenan tanpa mematikan budaya yaitu melalui kampanye kebudayaan. Langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia ke dunia internasional melalui berbagai macam pagelaran, pameran dan promosi. Dengan dikenalnya produk budaya Indonesia di segala penjuru dunia, berarti kita telah ”mematenkan”nya atas nama Indonesia.
Posting Komentar