Sebenarnya waktu itu majelis kasasi menilai Panitia Pengadaan Barang dan Jasa telah terbukti bersekongkol sehingga meluluskan PT Mitra Buana Widyasakti sebagai perusahaan rekanan. Namun, masih menurut majelis kasasi, KPPU tak bisa mendenda panitia tender lantaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli) hanya memberikan kewenangan KPPU untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha. Panitia tender tidak dikualifisir sebagai pelaku usaha.
Lebih jauh majelis kasasi berpendapat, penjatuhan sanksi kepada panitia tender yang bersekongkol dengan perusahaan adalah ruang lingkup kewenangan penyidik perkara pidana khusus. Boleh jadi, yang dimaksud majelis kasasi mengenai perkara pidana khusus adalah perkara korupsi. Bukan rahasia lagi kalau sebagian besar perkara korupsi yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah perkara korupsi dalam proyek pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah.
Putusan majelis kasasi ini seakan bermaksud menyadarkan KPPU untuk tidak melampaui kewenangannya. Mengacu pada Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli.
Bagaimana Sanksi Pidana?
Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48:
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49:
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Mudzakkir menuturkan, seyogianya pemerintah dan DPR memperhatikan kaidah hukum pidana dalam membuat peraturan perundang-undangan. "Sayangnya, sanksi pidana dalam UU Anti Monopoli dan banyak Undang-Undang yang lain dibuat tanpa merujuk kaidah hukum pidana," sesal Mudzakkir.
Ia mencontohkan, jika suatu tindak pidana dalam KUHP ancaman hukumannya adalah sekian bulan, namun di Undang-Undang lain ancamannya malah sekian tahun. Celakanya, tidak dijelaskan pula apa yang menjadi faktor pemberatnya sehingga ancaman sanksinya layak ditambah. "Demikian pula yang terjadi dalam Undang-Undang Anti Monopoli," ujarnya.
Kejanggalan lain dalam UU Anti Monopoli, masih menurut Mudzakkir, adalah ketidakjelasan mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai tindak pidana. "Tapi tahu-tahu ada sanksi pidananya. Ini berbahaya karena standar keadilan menjadi tidak terjamin."
Hal lain yang menarik dari UU Anti Monopoli, lanjut Mudzakkir, adalah mekanisme penegakkan hukum dan penjatuhan sanksi. "UU Anti Monopoli seolah memberi peran yang begitu besar kepada KPPU. Yang mencari kesalahannya dia (KPPU, red), yang memprosesnya dia dan yang menjatuhkan hukumannya juga dia," ujar Mudzakkir yang pernah meneliti mengenai penegakkan hukum pidana di sejumlah lembaga termasuk KPPU.
Kasubdit Litigasi dan Monitoring Putusan KPPU, Mohammad Reza membantah pernyataan Mudzakkir. Menurut dia, KPPU tak pernah menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku usaha. Kalaupun ada yang dihukum membayar denda, "itu adalah sanksi administratif."
Revisi UU
Melihat banyaknya kebolongan dalam UU Anti Monopoli terutama menyangkut ketentuan pidana, Mudzakkir berharap agar pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang ini. "Kalau KPPU masih ingin dipertahankan memiliki kewenangan ‘mengadili', ya harus mengikuti UU tentang Kekuasaan Kehakiman."
Harapan senada datang dari Ketua KPPU Benny Pasaribu. Ia berharap agar ke depan KPPU diberikan kewenangan menyidik tindak pidana dalam perkara monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. "Sama seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang ada di departemen lain," pungkasnya.
Posting Komentar